Perlawanan Indonesia Sebelum Abad 19 Terhadap Portugis dan VOC | Sejarah Kelas 11
Dalam artikel Sejarah kelas 11 ini, kamu akan belajar mengenai perlawanan Indonesia sebelum abad ke-19 dalam melawan para penjajah. Yuk, langsung kita bahas!
—
Sebelum bangsa Indonesia menyatukan diri dalam semangat kebangsaan pada awal abad ke-20, berbagai kerajaan dan kesultanan di Nusantara sudah terlebih dahulu melakukan perlawanan terhadap bangsa asing.
Perlawanan-perlawanan tersebut umumnya dilakukan secara sporadis dan bersifat lokal, tapi menjadi bukti bahwa semangat mempertahankan kedaulatan telah tumbuh sejak jauh sebelum Indonesia merdeka.
Keberadaan Portugis dan VOC yang melakukan kolonialisme di Nusantara mulai abad 16 hingga 18, tepatnya pada tahun 1511-1799, tentunya mendapat beragam respons dari masyarakat, terutama kerajaan lokal yang pada saat itu masih berdiri dengan melakukan perlawanan bersenjata.
Nah, artikel ini akan mengupas bagaimana perlawanan sebelum abad ke-19 ini dilakukan oleh rakyat Indonesia terhadap Portugis dan VOC, yang terjadi di berbagai wilayah Nusantara.
Mulai dari Barat hingga Timur, jejak perjuangan ini menunjukkan semangat perlawanan yang luar biasa dari para pemimpin dan rakyat Nusantara. Langsung aja yuk, simak selengkapnya!
Baca Juga: Pengertian Kolonialisme dan Imperialisme, Jenis & Tujuannya
Perlawanan Terhadap Portugis
Kedatangan Portugis ke Nusantara pada awal abad ke-16 merupakan salah satu awal mula penjajahan di Indonesia. Mereka datang dengan tujuan utama menguasai perdagangan, khususnya rempah-rempah, serta menyebarluaskan agama Katolik.
Namun, tindakan semena-mena dan upaya monopoli dagang mereka kemudian memicu berbagai perlawanan dari kerajaan-kerajaan lokal.
1. Kesultanan Demak
Salah satu kerajaan pertama yang menunjukkan perlawanan terhadap Portugis adalah Kesultanan Demak. Latar belakang perlawanan Demak melakukan perlawanan terhadap Portugis adalah keinginan kuat untuk membebaskan Malaka dari cengkeraman Portugis yang saat itu menjadi pusat perdagangan penting di Asia Tenggara.
Sejak menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis berupaya memonopoli perdagangan di Selat Malaka. Monopoli perdagangan dan pelabuhan yang dilakukan oleh Portugis ini menyebabkan para pedagang Demak kesulitan untuk menjual barang hasil bumi Demak seperti beras.
Oleh karena itu pada tahun 1512 dan 1521, Demak melakukan serangan ke Malaka di bawah pimpinan Pangeran Sabrang Lor atau Dipati Unus (Pati Unus), putra dari Raden Patah. Tujuannya jelas, yaitu mengusir Portugis dari Malaka dan mengembalikan jalur dagang kepada penguasa lokal.
Sayangnya, kedua peristiwa perlawanan terhadap Portugis yang dilakukan oleh Demak ini mengalami kegagalan karena kekuatan militer dan persenjataan yang dimiliki Portugis, Benteng Formosa, Malaka, jauh lebih baik dan memadai.
Pati Unus yang memimpin penyerangan pun gugur pada serangan tahun 1521. Namun, tekanan yang diberikan oleh Demak dan sekutunya menyebabkan pasokan bantuan untuk Portugis di Maluku terhambat, yang pada akhirnya turut mempercepat keluarnya Portugis dari wilayah Indonesia bagian Timur.
Selain karena monopoli perdagangan di Malaka, peristiwa perlawanan terhadap Portugis oleh Kesultanan Demak juga dilatarbelakangi oleh pendirian pos dagang di Sunda Kelapa oleh Portugis. Portugis berusaha untuk mendirikan pos dagang di Sunda Kelapa dengan cara bekerjasama dengan raja Sunda.
Kesultanan Demak yang menganggap kehadiran Portugis di Jawa sebagai ancaman, mengantisipasinya dengan menyerang Sunda Kelapa pada tahun 1527 di bawah pimpinan Fatahillah. Serangan Demak ini berbuah kemenangan dan Pelabuhan Sunda Kelapa kemudian menjadi wilayah kekuasaan Demak dengan pengawasan dari Kesultanan Banten.
Baca Juga: Perlawanan Indonesia terhadap Belanda sampai Awal Abad 20
2. Kesultanan Ternate
Sultan Baabullah (Asset eksklusif Ruangguru)
Selain Demak, ada juga kesultanan Ternate yang turut melakukan perlawanan terhadap Portugis. Perlawanan terhadap VOC di Maluku dipimpin oleh Sultan Baabullah, yang merupakan anak dari Sultan Hairun.
Pada mulanya, kedatangan Portugis mendapat sambutan baik dari rakyat Ternate. Namun seiring berjalannya waktu, Portugis bersikap tidak ramah terhadap komunitas pedagang cengkeh di Maluku.
Bahkan, Portugis terkesan memaksakan monopoli perdagangan rempah di Maluku sehingga mendapat perlawanan dari Sultan Ternate, yakni Sultan Hairun beserta rakyatnya.
Di samping itu, kegiatan penyebaran agama Kristen yang dilakukan oleh Portugis di antara penduduk lokal Ternate yang beragama Islam menimbulkan kekhawatiran dari Sultan Hairun. Ia kemudian mengumpulkan sultan-sultan dari berbagai daerah di Maluku untuk melawan Kristenisasi Portugis, serta berupaya mengusir Portugis dari Maluku.
Sikap Portugis yang dianggap sudah melampaui batas dengan memaksakan monopoli perdagangan serta melakukan kegiatan Kristenisasi di Maluku membuat Sultan Hairun mengobarkan perang dan mengepung benteng Portugis.
Menyadari posisinya terdesak, Portugis mengajukan perdamaian dan mengundang sang sultan untuk mengadakan pertemuan di Benteng Gamlamo milik Portugis. Namun, di benteng tersebut Sultan Hairun justru dibunuh dengan keji oleh Portugis pada tahun 1570.
Anak tertua Sultan Hairun yakni Sultan Baabullah kemudian melanjutkan perjuangan sang ayah. Rakyat Ternate melakukan perlawanan terhadap Portugis di bawah pimpinan Sultan Baabullah dan berhasil mengusir Portugis dari Maluku pada tahun 1575.
Sultan Baabullah memimpin perlawanan besar-besaran terhadap Portugis dan menyerang benteng-benteng serta pos perdagangan milik Portugis. Keberhasilan ini membuat Ternate mencapai puncak kejayaannya dan menjadi simbol keberhasilan rakyat Indonesia dalam mengusir penjajah.
3. Kesultanan Aceh
Selanjutnya, ada perlawanan terhadap Portugis di Aceh yang menjadi salah satu perlawanan paling keras dan konsisten. Selama bertahun-tahun, Portugis menjadi musuh Kesultanan Aceh Darussalam.
Penyebab terjadinya perlawanan rakyat Aceh terhadap Portugis adalah monopoli perdagangan di selat Malaka, serta gangguan militer Portugis terhadap para pedagang Islam yang melintasi Malaka.
Di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda, Kesultanan Aceh lalu menyerang pangkalan dagang Portugis di Malaka pada tahun 1629. Namun, Portugis berhasil menahan serangan Kesultanan Aceh ini, sehingga tetap berkuasa di Malaka.
Barulah pada tahun 1641, kekuasaan Portugis di Malaka melemah seiring kehadiran VOC yang kemudian merebut wilayah itu.
Perlawanan Terhadap VOC
Setelah Portugis mulai kehilangan pengaruhnya di Nusantara, hadir kekuatan baru dari Eropa, yakni Belanda, melalui perusahaan dagangnya yang bernama VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).
VOC datang dengan kekuatan militer yang lebih besar dan strategi politik yang lebih kompleks, seperti politik adu domba dan monopoli dagang.
Namun, semangat perlawanan rakyat Indonesia tetap tidak surut. Berikut ini adalah beberapa perlawanan terkenal terhadap VOC sebelum abad ke-19.
1. Kesultanan Mataram Islam
Pertempuran Mataram VS VOC di Batavia (Asset eksklusif Ruangguru)
Perlawanan terhadap VOC di Mataram bermula dari konflik kepentingan antara dua kekuatan besar, yaitu Mataram sebagai kerajaan terbesar di Pulau Jawa dan VOC sebagai kekuatan asing yang ingin memonopoli perdagangan.
Sejak VOC berkuasa di Batavia pada tahun 1619, mereka banyak terlibat dalam urusan politik kerajaan-kerajaan di Nusantara, khususnya Jawa. Keterlibatan ini seringkali membuat perseteruan politik di internal kerajaan tersebut.
Sultan Agung selaku raja Mataram berambisi untuk mempersatukan Jawa di bawah kekuasaan Mataram. Keberadaan VOC dianggap sebagai ancaman terhadap ambisi tersebut, sehingga Mataram berusaha mengusir VOC dari Pulau Jawa.
Mataram melancarkan dua kali serangan ke Batavia, yakni pada tahun 1628 dan 1629. Sayangnya, kedua serangan tersebut mengalami kegagalan. Kurangnya persiapan logistik Mataram menjadi penyebab kegagalan pada serangan pertama.
Sedangkan, munculnya wabah malaria dan kolera di tengah pasukan Mataram menjadi penyebab kegagalan pada serangan kedua. Kekalahan ini justru membuat pengaruh VOC di Kesultanan Mataram semakin besar.
Baca Juga: Perkembangan Kolonialisme dan Imperialisme Eropa di Indonesia
2. Kesultanan Gowa-Tallo
Perlawanan terhadap VOC di Maluku dilatarbelakangi monopoli perdagangan yang dilakukan oleh VOC. VOC memaksakan keinginan untuk mengontrol pelabuhan Makassar. Makassar yang sejak lama terbuka bagi pedagang dari berbagai bangsa, tentu saja menolak keinginan VOC.
Selain itu, penyebab perlawanan Gowa-Tallo lainnya adalah Kerajaan Bone mengalami keresahan dan kesengsaraan di bawah pemerintahan Kesultanan Gowa. Hal ini membuat raja Bone, yakni Arung Palakka, menjalin kesepakatan dan kerja sama dengan panglima Belanda Speelman untuk menyerang Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin.
Hal ini membuat Perang Makassar meletus pada tahun 1666-1669. Koalisi pasukan Bone dan VOC mendapatkan kemenangan. Sedangkan Sultan Hasanuddin dari Kesultanan Gowa dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada tahun 1667 sebagai tanda kekalahan.
Sultan Hasaunddin Menandatangani Perjanjian Bongaya (Asset eksklusif Ruangguru)
3. Kesultanan Banten
Perlawanan Kesultanan Banten terhadap VOC dilatarbelakangi oleh VOC yang berupaya memonopoli perdagangan. Sejak menaklukkan Batavia dan membangun pangkalan dagang di sana, VOC kian gencar berupaya mengatur dan memonopoli lalu lintas perdagangan di Nusantara, khususnya Jawa.
Mereka juga berambisi memonopoli atau menguasai perdagangan lada di Jawa bagian Barat, serta Lampung yang menjadi kekuasaan Kesultanan Banten.
Pada saat itu, Kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa, yang dikenal sebagai pemimpin yang anti-kolonial. Ia menolak keras campur tangan VOC dalam urusan Banten.
Alasan Sultan Ageng Tirtayasa melakukan perlawanan terhadap VOC adalah karena VOC berusaha menguasai jalur perdagangan internasional di Selat Sunda dan menggoyahkan kekuasaan politik Kesultanan Banten.
Namun, terjadi konflik suksesi kepemimpinan antara Sultan Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa yang kemudian dimanfaatkan dengan jeli oleh VOC dengan mengadu domba keduanya.
Peristiwa ini menjadi contoh nyata politik devide et impera atau politik adu domba yang dijalankan oleh VOC untuk memecah-belah kekuatan lokal. VOC berusaha menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa yang dikenal anti VOC.
Pertempuran kemudian pecah pada tahun 1682 antara pasukan Sultan Ageng Tirtayasa menghadapi Sultan Haji yang dibantu pasukan VOC. Pertempuran ini dimenangkan oleh koalisi antara Sultan Haji dan VOC.
Sultan Ageng Tirtayasa kemudian ditangkap dan dipenjara hingga meninggal dunia pada tahun 1692. Akibat pertempuran ini, Kesultanan Banten perlahan dipengaruhi oleh VOC dan mengalami kemunduran. Banten pun kehilangan kedaulatannya dan VOC menjadi penguasa utama di wilayah pesisir Jawa.
Dampak Perlawanan Terhadap Penjajah
Dari berbagai perlawanan tersebut, terlihat bahwa latar belakang Demak melakukan perlawanan terhadap Portugis adalah untuk membebaskan jalur perdagangan dan menentang penjajahan atas wilayah kedaulatan Nusantara.
Motif ini juga serupa dengan berbagai perlawanan lainnya, seperti Aceh, Ternate, dan lainnya yang sudah disebutkan di atas, yang menolak monopoli, dominasi politik, dan intervensi asing.
Jika kamu diminta untuk sebutkan faktor penyebab lahirnya pergerakan nasional, salah satunya adalah karena sejarah panjang perlawanan terhadap penjajahan ini.
Kesadaran bahwa bangsa Indonesia memiliki hak atas tanah airnya sendiri tumbuh dari berbagai kekalahan, kemenangan, dan semangat juang yang diwariskan para pemimpin lokal seperti Sultan Hasanuddin, Sultan Baabullah, Sultan Agung, Sultan Ageng Tirtayasa, dan lainnya.
Baca Juga: Dampak Imperialisme dan Kolonialisme terhadap Bangsa Indonesia
Perlawanan Indonesia sebelum abad ke-19 memang belum berhasil menyatukan seluruh kekuatan Nusantara dalam satu front perjuangan. Namun, setiap perlawanan dari Barat hingga Timur, menunjukkan bahwa rakyat Indonesia tidak pernah diam terhadap penjajahan.
Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa semangat merdeka telah tumbuh lama sebelum Proklamasi 1945, dan dari sejarah ini pula kita belajar bahwa persatuan, keberanian, dan kecintaan terhadap tanah air adalah pondasi utama dalam mempertahankan kemerdekaan.
—
Jika kamu tertarik mempelajari lebih lanjut tentang sejarah perlawanan Indonesia dan hubungannya dengan pergerakan nasional, jangan ragu untuk eksplorasi lebih jauh, tentunya bersama ruangbelajar!
Semakin kita paham sejarah, maka semakin kita tahu betapa berharganya kemerdekaan yang kita miliki hari ini. Jadi, jangan sekali-sekali melupakan sejarah, ya!